SLIDE1

Aceh Cambuk perempuan non-Muslim, Bagaimana Reaksi Pusat?


Pelaksanaan hukuman cambuk terhadap seorang perempuan non-Muslim di Provinsi Aceh, dinilai telah melampaui wewenang Qanun Jinayat atau Peraturan Daerah Syariat Islam di Aceh. Pemerintah diminta menegur Aceh.

“Karena pemberlakuan Qanun itu primordial, hanya berlaku untuk Islam. Lah kok sekarang bisa diberlakukan pada non-Muslim juga? Berarti Aceh melakukan pelanggaran terhadap bagaimana hukum diimplementasikan. Jakarta harus berikan teguran cukup kuat atau dalam hal ini melakukan pemeriksaan, bahwa ini (adalah) kriminalisasi yang salah,” ungkap Lies Marcoes, pengamat Islam di Aceh, kepada BBC Indonesia, Kamis (14/04).

Pelaksanaan hukuman cambuk terhadap seorang perempuan non-Muslim berusia 60 tahun, terjadi di Takengon, Aceh Tengah pada Selasa (12/04). Dia dicambuk hampir 30 kali di hadapan ratusan warga, karena menjual minuman beralkohol.

Lebih jauh Lies menegaskan, teguran perlu diberikan “karena pemerintah Aceh sedang dalam usaha untuk memperluas penerapan hukum Syariah sebagai hukum yang kompatibel dengan hukum negara”.
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Komisioner Komnas HAM Otto Syamsudin Ishak.

“Itu early warning. Sebaiknya harus ada evaluasi sekarang, sehingga tidak terjadi lagi modus-modus (seperti ini) ke depannya,” tutur Otto.

Tidak keberatan dihukum

Berdasarkan Qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, untuk kasus penjualan minuman keras yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seorang non-Muslim bisa mendapat sanksi dari Qanun, jika melakukan pelanggaran syariat bersama-sama dengan orang Islam dan secara sukarela menundukkan diri (setuju) untuk dihukum dengan Hukum Jinayat.


Untuk mengonfirmasi apakah perempuan non-Muslim yang dihukum memenuhi dua syarat ; melakukan pelanggaran bersama dengan orang Islam dan sukarela untuk dihukum dengan Qanun, BBC Indonesia menghubungi Kepala Dinas Syariat Islam Kabupaten Aceh Tengah, Alam Syuhada.
Alam yang mengangkat telepon, tidak mau berkomentar dan menyerahkan telpon kepada seorang hakim di Mahkamah Syariah Takengon, majelis yang menjatuhkan hukuman terhadap perempuan non-Muslim itu. Hakim tersebut tidak mau menyebut namanya.

“(Perempuan itu melanggar syariat) sendiri. Tetapi dia tidak pernah merasa keberatan untuk diajukan ke sini, sejak dari tingkat penyidikan di polisi, kejaksaan dan ke pengadilan. Seharusnya (kalau tidak setuju) di tingkat pengadilan, dia kan bisa banding. Tapi dia tidak banding. Berarti dia otomatis sudah menundukkan diri,” kata hakim tersebut.

“Keliru” menerapkan Qanun

Syahrizal Abbas, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, badan yang merumuskan Qanun Jinayat menegaskan, jika pelaku non-Muslim ternyata sendiri dalam melanggar aturan syariat, dalam arti tidak bersama orang Islam, maka “penerapan Qanun telah keliru”.

Ketika ditanya apakah ada sanksi bagi penegak hukum syariat yang menerapkan hukum dengan keliru, Syahrizal menyebut “tidak ada sanksi, sama dengan aturan hukum biasa kalau dia (penegak hukum) keliru dalam menafsirkan hukum, apa sanksinya?”

Saat ditegaskan bagaimana memastikan ‘kekeliruan’ supaya tidak berulang, Syahrizal mengutarakan “Ya, kalau dia (yang melanggar) ada di kepolisian, tentu mendapat teguran dari atasannya. Dia kan menjalankan tugasnya.”


Namun, kepala badan yang juga berfungsi untuk mengawal dan mengawasi pelaksanaan syariat Islam tersebut, tidak mau menyampaikan tenggat waktu atau prosedur dalam menangani jika ada ‘ketidaktepatan’ dalam pelaksanaan Qanun.

“Saya masih tunggu penjelasannya dari mereka (penegak hukum di Takengon)”.

Mempertanyakan “sukarela”

Anggapan bahwa perempuan non-Muslim “tidak keberatan dihukum” berdasarkan ketentuan agama Islam, seperti yang disampaikan hakim Takengon, juga ditentang Lies Marcoes.

“Siapa yang bisa menguji itu dengan sukarela. Harusnya dia diberikan pilihan alternatif. Harusnya terlebih dahulu ada (penegak hukum) yang menyampaikan kepada dia, bahwa ada alternatif lain, (yaitu menolak penerapan) hukum syariat,” kata Lies.

Namun, hakim yang tidak mau disebutkan namanya menegaskan, seharusnya masyarakat sudah tahu ada pilihan tersebut.

“Sudah disosialisasi. Kalau (sudah) disahkan, (masyarakat) dianggap sudah tahu. Kalau kami di pengadilan hanya menyidangkan,” ungkap hakim.

Dengan berbagai kritikan yang muncul terkait penerapan Qanun Jinayat terhadap warga non-Muslim di Aceh, Dinas Syariat Islam Aceh, mengindikasikan ‘menutup’ pilihan memohon maaf kepada perempuan non-Muslim yang telah dihukum, meskipun terjadi kekeliruan dalam penerapan Qanun.

“Negara yang harus memberikan perhatian. Sama dengan hukum nasional, jangan diinikan pada hukum syariah saja. Misalnya saya polisi, menjalankan amanah undang-undang, saya tembak orang, mati, terus apa yang diberikan negara kepada orang yang sudah mati itu? Lebih bahaya orang yang sudah mati pak, dari pada yang masih hidup. Hukum syariat di Aceh itu tanggung jawab negara bukan Aceh semata. Kalau keliru, (itu) keliru pada undang-undang negara,” tutur Syahrizal Abbas.

Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri dalam berbagai kesempatan mempertanyakan penerapan peraturan daerah yang dianggap bertentangan dengan peraturan di atasnya. Namun, sejauh ini sejumlah pihak meyakini belum ada langkah nyata untuk mengatasinya.

(bbc)
Aceh Cambuk perempuan non-Muslim, Bagaimana Reaksi Pusat? Aceh Cambuk perempuan non-Muslim, Bagaimana Reaksi Pusat? Reviewed by Unknown on 7:59:00 PM Rating: 5
Comments
0 Comments

No comments:

Powered by Blogger.